Teknologi Baru Membuka Harapan untuk Melindungi Hiu dan Pari
Di dunia yang luas dan misterius di bawah permukaan laut, terdapat makhluk menarik yang telah menjelajahi ombak dan kedalaman laut selama jutaan tahun. Mereka adalah hiu dan pari, dua kelompok ikan bertulang rawan yang mendominasi perairan dunia. Namun, kini spesies-spesies ini menghadapi ancaman serius, terutama karena perdagangan ilegal yang mengancam kelangsungan hidup mereka.
Elasmobranchii adalah nama ilmiah untuk kelompok ikan bertulang rawan ini, yang terdiri dari hiu dan pari. Candramila dan Junardi (2000) memperkirakan ada sekitar 1000 spesies Elasmobranchii di seluruh dunia. Di Indonesia, ditemukan sekitar 270 spesies berdasarkan data yang dihimpun oleh Fahmi (2010). Mereka bukan hanya menjadi bagian integral dari ekosistem laut kita, tetapi juga berperan sebagai predator puncak yang menjaga keseimbangan di bawah permukaan laut.
Perdagangan spesies hiu yang terancam punah telah menjadi masalah serius dalam beberapa dekade terakhir. Penangkapan hiu umumnya dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar internasional, terutama untuk memasok sirip hiu yang digunakan dalam sup sirip hiu, yang dipercayai dapat meningkatkan vitalitas. Selain itu, daging pari juga sering dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan minyak dari hatinya bisa digunakan untuk bahan kosmetik maupun obat. Praktik-praktik ini telah menyebabkan penurunan populasi hiu dan pari yang sangat mengkhawatirkan. Dengan total nilai perdagangan dari hiu dan pari pada periode 2012-2019 menurut WWF tahun 2021 saja sudah melebihi 4.1 miliar US dolar, dengan rincian perdagangan daging hiu dan pari mencapai 2,6 miliar US dolar dan 1,5 miliar untuk perdagangan sirip hiu dengan Indonesia sebagai pengeksport terbesar di dunia.
Pada tahun 2023, tantangan terkait pemantauan keanekaragaman hayati perdagangan telah mengalami peningkatan yang signifikan. Jumlah spesies yang terdaftar dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang merupakan perjanjian internasional yang bertujuan untuk memastikan perdagangan komersial satwa liar tidak mengancam kelangsungan hidup spesies. Pada tahun 2022 terjadi pelonjakan spesies yang dilindungi dari 47 menjadi 151 jenis. Meskipun ini merupakan tanda positif dalam upaya konservasi, tantangan utama yang tetap ada terutama pada spesies-spesies yang termasuk dalam Apendiks II CITES. Smith dkk tahun 2011 menuturkan ini berarti bahwa spesies-spesies ini masih bisa diperdagangkan, asalkan mematuhi kerangka kerja Non-Detriment Findings (NDF) yang mempertimbangkan keberlanjutan eksploitasi. Dengan kata lain, sejumlah spesies hiu dan pari yang terancam punah masih memiliki potensi untuk diperdagangkan, dengan syarat dapat dipastikan bahwa perdagangan ini tidak membahayakan populasi mereka.
Kondisi ini menciptakan sebuah dilema dalam upaya konservasi hiu. Meskipun ada peraturan dan persyaratan tertentu yang mengatur perdagangan spesies yang terancam punah, ada kekhawatiran bahwa mekanisme ini bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mengizinkan perdagangan ilegal spesies tersebut atau menggantinya dengan spesies lain yang masih tersedia dan tidak dilindungi. Disisi lain, konsumen juga kadang tidak waspada terhadap asal spesies dari produk yang dikonsumsi apalagi yang sudah melalui proses. Sehingga memberikan kesulitan dalam usaha monitoring maupun meregulasi kelegalan dalam proses perdagangan hiu dan pari.
Lalu bagaimana kita bisa menghadapi situasi ini?
Terobosan baru-baru ini dalam ilmu genetika molekuler yang dikembangkan salah satunya oleh tim peneliti Andhika dkk pada tahun 2022, yang dikenal sebagai SharkDust dengan basis environmental DNA (eDNA), telah membuka jalan bagi penelitian yang lebih mendalam tentang perdagangan hiu dan pari. eDNA adalah teknik pengambilan DNA dari partikel yang ditinggalkan oleh makhluk hidup di lingkungan, yang membawa informasi tentang makhluk hidup tersebut. Sampel eDNA diambil dari sisa-sisa perdagangan ikan hiu dan pari yang tertinggal seperti pada beberapa hub export di 7 kota di pulau Jawa. Serbuk ini kemudian diambil untuk mendapatkan materi genetik yang ditinggalkan pada sisa kegiatan perdagangan hiu dan pari.
Setelah pengambilan sampel, langkah berikutnya adalah ekstraksi DNA. Kuantitas DNA dari sisaan sangatlah sedikit, sehingga diperlukan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk menggandakan jumlahnya. Setelah itu, langkah terakhir adalah membaca sekuens DNA dengan menggunakan Next Generation Sequencing (NGS). Melalui proses bioinformatika, kita dapat memahami informasi genetik dari sampel ini dengan mencocokkan sekuens DNA dengan referensi genetik yang telah disesuaikan.
Dan apa hasilnya?
Ternyata, ditemukan 32 jenis hiu dan pari yang termasuk dalam perhatian CITES dalam sampel sisa perdagangan hiu dan pari di beberapa lokasi di Pulau Jawa. Beberapa di antaranya adalah ikan pelagis, yang menghuni kolom air jauh di atas dasar laut, dan biasanya tidak sengaja terjaring dalam penangkapan, meliputi hiu martil (hammerhead sharks, Sphyrna spp.), hiu sutra (silky shark, Carcharhinus falciformis), dan hiu ekor bintik (spot-tail shark, Carcharhinus sorrah). Selain itu ada juga hiu yang berasosiasi dengan terumbu karang seperti hiu mada (blacktip reef shark, C. melanopterus), hiu karang sirip putih (whitetip reef shark, Triaenodon obesus), dan hiu harimau pasir (sand tiger shark, Carcharias taurus). Beberapa jenis pari pun bisa terdeteksi seperti pari hortle (Hortle’s whipray, Himantura hortlei), pari cambuk bakau (mangrove whipray, Himantura granulata), pari bermata pucat (pale-edged stingray, Dasyatis zugei), dan pari kuhl (bluespotted stingray, Neotrygon kuhlii).
Temuan ini memberikan wawasan berharga bahwa masih ditemukan jenis yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mencegah dan mengurangi terjadinya perdagangan ilegal spesies hiu dan pari, serta memberikan harapan agar pemangku kebijakan bisa mengambil langkah-langkah pelestarian lebih lanjut terutama untuk jenis-jenis yang terancam dan menjaga keseimbangan di bawa permukaan laut yang begitu penting bagi ekosistem.