Wabah Coronavirus (COVID-19): Keganjilan Hubungan antara Manusia dengan Satwa
Badai Pandemi yang Mendunia
Memapak tahun 2020 ini, perhatian dunia benar-benar tertuju pada epidemi patogenik yang berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat secara global yang disebut dengan Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19. Wabah ini disebabkan oleh patogen yang diberi nama novel beta-coronavirus atau SARS-CoV 2–yang sebelumnya memiliki sebutan 2019-nCoV–oleh International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV). Virus ini memiliki hubungan erat dengan coronavirus penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS yang mewabah pada tahun 2003, namun memiliki perbedaan secara genetik.
Gejala yang ditemukan pada umumnya berupa gangguan pernafasan, batuk, dan demam. Untuk beberapa kasus, pasien yang terjangkit terkadang tidak menunjukan adanya gejala apapun. Namun, di sisi lain juga ditemukannya kasus-kasus dengan diikuti gejala yang lebih parah seperti pneumonia akut dan diare walaupun tingkat perbandingannya lebih rendah. Ketika sudah demikian, apa yang akan terjadi selanjutnya ketika hal tersebut dibiarkan begitu saja? Tentu tanpa adanya penanganan yang cepat dan tepat, dampak yang ditimbulkan dapat semakin serius.
Bukan kali pertamanya manusia menghadapi pandemi di abad ke 21 ini. Sebelumnya umat manusia juga disibukkan dengan melawan berbagai wabah besar seperti SARS, MERS, H1N1, dan Zika. Bermula pada Desember 2019, sebuah kasus pneumonia akut dilaporkan dari Wuhan, ibu kota provinsi Hubei di Republik Rakyat Tiongkok, dan hanya dalam kurun waktu tiga minggu telah tersebar di beberapa negara tetangga seperti Jepang, Korea, dan Thailand. Dibandingkan dengan SARS dan MERS, COVID-19 memiliki sifat patogen yang lebih rendah, tetapi memiliki tingkat persebaran yang lebih tinggi.
Tanpa membutuhkan waktu yang lama, wabah COVID-19 tersebar hampir di seluruh negara di dunia. Hingga saat ini (30/04/2019) tercatat 3.194.523 kasus yang tersebar di 185 negara di dunia dengan kasus kematian mencapai 227.659 jiwa. Di Indonesia, tercatat 9.771 kasus dengan jumlah kematian mencapai 784 jiwa. Lembaga-lembaga di dunia menaruh perhatian penuh terhadap ancaman tersebut. Selain melakukan transparansi terhadap perkembangan kasus kepada masyarakat, pelbagai riset pun terus dikembangkan. Tentu ini menjadi perkara yang amat sangat serius bagi masyarakat di seluruh dunia.
Dari Satwa ke Manusia
Sama halnya dengan penyakit SARS dan MERS, COVID-19 menunjukkan fakta bahwa kelelawar menjadi sumber utama dari patogen yang kemudian ditransmisikan kepada manusia dan menyebar luas pada populasi manusia melalui interaksi sosial, mengutip dari riset National Institute for Viral Disease Control and Prevention, China. Terlepas dari fakta bahwa kelelawar sebagai inang utama, fakta lain juga mengatakan bahwa kasus pneumonia ini memiliki hubungan erat dengan ketersediaan daging satwa yang diperdagangkan pada pasar grosir makanan laut di Kota Wuhan. Walaupun tidak ditemukan daging kelelawar pada saat pertama kali kasus dilaporkan, namun berbagai jenis hewan liar–dilaporkan melalui CNN, termasuk rakun, landak, tikus, musang, dan lainnya–dijual di tempat transaksi tersebut dan disinyalir menjadi perantara dalam persebaran patogen coronavirus di populasi manusia.
Coronavirus bersifat non-patogen atau hanya menyebabkan gejala ringan pada inang utama. Namun, aktor lain berupa inang perantara mampu berperan dalam replikasi virus yang kemudian ditransmisikan kepada manusia sehingga memperbesar skala infeksi. Penularan COVID-19 dari inang utama atau perantara ke manusia dapat terjadi melalui kontak terhadap cairan tubuh atau feses, maupun kebiasaan mengkonsumsi daging satwa yang berpotensi sebagai pembawa patogen. Bahkan kontak secara tidak langsung melalui tempat hidup satwa yang menjadi inang juga menimbulkan potensi dalam persebaran virus ini. Kita tidak dapat mengetahui secara pasti dimana saja benda-benda yang terkontaminasi jika sudah berada di lingkungan yang luas.
Beberapa studi menyebutkan bahwa saat ini trenggiling sunda (Manis javanica), yang tergolong sebagai satwa yang terancam punah, diduga berperan sebagai intermediate host karena adanya kesamaan genetik pada virus yang dibawa satwa tersebut Akan tetapi, masih perlu pembuktian secara lanjut terkait hubungannya dengan pandemi saat ini dan tidak menutup kemungkinan berbagai jenis satwa lain khususnya kelas mamalia juga berperan sebagai inang perantara. Bahkan untuk satwa domestik sekali pun, kita tetap perlu waspada.
Dari Manusia ke Satwa?
Rupa-rupanya, kasus COVID-19 yang terjadi tidak hanya diderita oleh manusia saja, namun juga pada hewan. Dilansir dari berita South China Morning Post, pada awal bulan Maret 2020, kasus pertama dugaan transmisi dari manusia ke satwa ditemukan pada anjing dengan ras Pomeranian berumur 17 tahun dan disusul dengan ras German shepherd berumur 2 tahun di Hongkong. Kasus selanjutnya terjadi pada kucing peliharaan di Belgia dan di Hongkong. Gejala klinis berupa diare dan gangguan pernafasan hanya ditemukan pada kasus kucing peliharaan di Belgia. Dugaan itu semakin diperkuat dengan fakta bahwa para pemilik hewan peliharaan tersebut sebelumnya juga terjangkit oleh virus SARS-CoV 2.
Tidak lama setelah itu, pada 5 April 2020, berita mengejutkan datang dari kebun binatang Bronx Zoo yang berada di New York. Seekor harimau malaya bernama Nadia telah dinyatakan positif COVID-19, dilansir dari berita Nationalgeographic.com dan The New York Times. Melalui kabar tersebut, Kepala Dokter Hewan Bronx Zoo, Paule Calle, mengatakan bahwa hal ini menjadi kali pertamanya kasus penularan COVID-19 dari manusia ke satwa liar. Sebelumnya, Nadia dan beberapa harimau malaya lainnya menunjukan simtom yang serupa dengan manusia. Calle juga menegaskan bahwa kemungkinan besar harimau-harimau tersebut terinfeksi virus yang dibawa oleh keeper atau penjaga kebun binatang.
Beberapa pakar di Harbin Veterinary Research Institute, China membahas mengenai kerentanan satwa liar dan domestik terhadap SARS-CoV 2 melalui penelitian yang mereka lakukan. Penelitian tersebut dilakukan dengan melakukan eksperimen terhadap sejumlah kecil mamalia–diantaranya adalah Ferret (sejenis musang), kucing domestik, dan anjing–yang diinokulasi dengan SARS-CoV 2. Penelitian ini menunjukkan bahwa kucing domestik dan Ferret rentan terhadap penularan virus SARS-CoV 2, sedangkan anjing memiliki resiko yang lebih rendah.
Eksperimen permodelan yang dilakukan oleh Dr. Amanda Melin dari University of Calgary dan Dr. James Higham dari New York University kepada primata juga mengindikasikan adanya resiko penularan SARS-CoV 2 terhadap primata sebagai kerabat terdekat dengan manusia, mengingat saat ini populasi mereka di dunia juga sedang menghadapi ancaman. Rasanya untuk sementara ini riset yang dilakukan ini cukup menjawab atas beberapa kasus yang disebutkan sebelumnya walaupun perlu adanya uji lebih lanjut. Kita hanya diharapkan untuk tetap waspada dan berjaga-jaga ketika informasi yang ada saat ini sangatlah terbatas.
Pertanyaan yang pertama kali terpintas pasti adalah apakah hewan peliharaan dapat menularkan virus kepada manusia disekitarnya? Saat ini masih belum ada bukti terkait hal itu. Kita hanya perlu melakukan tindakan preventif seperti melakukan pemeriksaan pada hewan yang memiliki riwayat kontak dengan orang yang terjangkit dan menaati anjuran untuk membatasi kontak. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana nasib satwa liar yang berada di lingkungan manusia dan habitat aslinya di tengah pandemi ini?
Kekhawatiran bagi kelangsungan hidup populasi satwa liar pun muncul mengingat cukup banyak satwa yang sulit untuk bertahan hidup di alam dengan tekanan aktivitas dan pertambahan populasi manusia. Dengan hasil eksperimen yang sudah kita ketahui, perlu menjadi perhatian terkait resiko persebaran virus di lingkungan alami dengan berbagai macam jenis satwa liar yang tersebar di dunia yang tentu memiliki respon yang berbeda terhadap virus ini. Dugaan pun mengarah kepada ancaman musnahnya populasi satwa liar di alam. Andai kata ini terjadi, tentu akan menjadi bencana selanjutnya yang mengantri.
Kesalahan yang Perlu Diperbaiki
Pengalaman dalam menghadapi wabah zoonosis yang mendunia sudah kita dapatkan bertahun-tahun lamanya sebelum virus baru ini merebak. Tentu kita sadari bahwa kejanggalan hubungan manusia dengan satwa menjadi faktor pemicu dalam maraknya wabah saat ini. Memutus rantai pandemi dengan melakukan berbagai upaya seperti pembatasan pergerakan dan kontak fisik secara massal, penanganan medis, serta mencanangkan gaya hidup bersih dan sehat seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia tentu menjadi hal yang wajib untuk dilakukan. Namun, apakah hal ini akan menjamin tertutupnya pintu bagi virus untuk kembali mewabah di kemudian hari? Tentu kita harus melihat sumber masalah ini lebih luas lagi.
Kita harus berbangga bahwa negara-negara di Asia termasuk Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Namun, potensi tersebut terdesak oleh berbagai aktivitas yang mengancam. Perilaku pemanfaatan yang tidak wajar telah merusak tatanan ekosistem yang terus berjalan seperti apa yang telah ditemukan saat investigasi awal di Wuhan. Faktor kunci pertama yang telah kita dapatkan adalah adanya perdagangan satwa liar secara ilegal.
Sudah sedari ribuan tahun yang lalu, masyarakat di Republik Rakyat Tiongkok menjadikan daging satwa liar sebagai sumber makanan. Mereka memandang bahwa bagian-bagian dari makhluk hidup tersebut memiliki nilai-nilai keyakinan yang diturunkan dalam bentuk produk pengobatan tradisional dan kerajinan. Beberapa masyarakat di negara-negara Asia Tenggara pun juga memiliki pandangan yang sama. Hal ini menjadikan negara-negara Asia menyandang predikat sebagai “Major Consumer and Wildlife Trade” termasuk Indonesia didalamnya. Negara lain seperti AS dan negara-negara di Afrika pun turut andil dalam jaringan kegiatan perdagangan ini.
Masalah ekonomi menjadi hal mendasar yang memicu praktik-praktik perdagangan satwa liar secara ilegal. Permintaan pasar pada skala lokal hingga global menjadi pendorong bagi masyarakat untuk menciptakan jaringan bisnis yang menguntungkan yang dimulai dari pengumpul satwa liar, pemasaran, produksi produk-produk turunan, hingga mencapai pada tahap konsumen akhir. Satwa liar yang menjadi target pun seperti harimau, gajah, trenggiling, dan spesies terancam lainnya kian mengalami penurunan populasi karena adanya perburuan. Tentu kita harus pahami bahwa dengan membawa satwa liar keluar dari habitat aslinya kepada kegiatan yang bersifat eksploitasi tanpa memikirkan kelestarian dan prinsip kesejahteraan satwa, kita tidak hanya menanggung beban rusaknya ekosistem, namun juga menanggung resiko terbawanya penyakit dari luar ke lingkungan manusia. Segala hal pun menjadi dipertaruhkan.
Disamping itu, laju urbanisasi dan eksploitasi yang tak terkendali terhadap habitat satwa, serta aktivitas antropogenik lainnya memaksa terjadinya tumpang tindih terhadap relung ekologis antara manusia dengan satwa. Kita telah menekan kondisi satwa dengan terciptanya fenomena berupa deforestasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan bahwa dalam kurun tahun 2017 hingga 2018, Indonesia telah kehilangan 490.000 Ha kawasan hutan. Sedangkan menurut data Forest Watch Indonesia, laju deforestasi hingga pada tahun 2017 mencapai angka 1.466.999 Ha per tahun. Hal ini tentu akan mendorong kesuksesan dalam ketidakstabilan ekosistem dan terfasilitasinya persebaran patogen bagi keduanya .
Wabah coronavirus telah membawa dunia dalam keadaan waspada. Kita tidak perlu memperdebatkan ihwal prioritas antara umat manusia dengan satwa. Keduanya saling tertaut dalam suatu sistem ekologis. Jika salah satu tidak berjalan sebagaimana mestinya, dampak yang ditimbulkan pun turut dirasakan oleh keduanya. Akan tetapi, manusia memiliki akal dan kehendak dalam menjalankan kehidupan seluruhnya. Jika dibandingkan dengan makhluk hidup lain, tentu ini adalah hak yang sangat istimewa. Hak yang istimewa tentu turut diikuti dengan tanggung jawab yang istimewa pula. Hal ini memanglah sesuatu yang tidak terbantahkan.
Langkah Selanjutnya
Semenjak terjadinya wabah COVID-19, dampak pada segi sosial, ekonomi, dan kesehatan pun sangat terasa. Masyarakat tidak dapat beraktivitas seperti biasa karena adanya rasa takut dan was-was terhadap lingkungan sekitar. Kegiatan perekonomian pun dibatasi di beberapa sektor sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi negara. Hal paling pahit yang sangat dirasakan tentu berasal dari jumlah pasien positif dan korban jiwa yang berjatuhan. Di tengah tekanan ini, para tenaga medis menjadi garda terdepan dalam upaya penanganan pasien dan para ilmuwan terus mengupayakan terciptanya vaksin. Selain menerapkan gaya hidup bersih dan sehat serta pembatasan sosial, tindakan preventif lain perlu dilakukan sebagai upaya meminimalisir terjadinya bencana seperti ini kembali.
Manusia perlu kembali membangun hubungan yang harmonis dengan satwa liar. Salah satu tindakan riil adalah dengan mematikan praktik perdagangan satwa liar secara ilegal. Munculnya aktor-aktor dalam perdagangan satwa didorong oleh adanya permintaan dari masyarakat. Kesadaran sosial akan bahaya dari konsumsi satwa liar perlu dimunculkan dan disebarluaskan untuk meminimalisir permintaan pasar. Sesuai dengan perkembangan zaman, media saat ini sangatlah beragam dan efektif untuk menjangkau setiap lapisan masyarakat.
Sulit rasanya jika hanya mengandalkan kesadaran masyarakat untuk memutus rantai perdagangan satwa ilegal. Namun, Indonesia memiliki hukum atau kebijakan yang berlaku mengenai regulasi perdagangan satwa liar dan ancaman hukuman bagi pihak yang memperdagangkan, memelihara, ataupun membunuh satwa liar yang dilindungi. Investigasi oleh instansi dan pengawasan terhadap kegiatan transaksi satwa perlu lebih diperketat khususnya terhadap para pelaku pasar dan jasa perantara. Standar keamanan dan kesehatan dalam bisnis pangan harus terus ditekankan. Penerapannya pada media E-Commerce yang saat ini mulai berkembang pun perlu untuk dilakukan.
Tanda pagar #DiRumahAja atau #StayatHome sangat marak di beberapa media sosial sebagai bentuk upaya persuasif masyarakat untuk tetap membatasi interaksi sosial ditengah pandemi. Namun, ada satu tagar lagi yang tidak boleh terlepas dari perhatian kita, yakni Satwa Liar #DiHutanAja. Ya, sama halnya dengan manusia yang memiliki rumah sebagai tempat tinggal, satwa liar pun memiliki tempat tinggal berupa habitat yang berada di Hutan. Apa yang kita lakukan pada sesama manusia dengan menghargai tempat tinggal satu sama lain pun juga wajib untuk dilakukan kepada satwa. Konsesi yang diperuntukan bagi keperluan bisnis maupun pemukiman perlu untuk terus diawasi dengan tetap memperhatikan dampak terhadap ekosistem yang ada.
Tindakan-tindakan tersebut sangat membutuhkan peran dari berbagai pihak seperti masyarakat umum, lembaga pemerintahan dan swasta, tenaga medis, akademisi, serta para peneliti. Ini akan menjadi bukti keseriusan kita dalam mencegah kembalinya wabah dan menjamin kelangsungan hidup manusia. Upaya yang kita lakukan untuk melakukan tindakan pencegahan tidak hanya akan menyelamatkan manusia, namun juga turut menyelamatkan makhluk hidup lainnya. Jika tidak, wabah seperti coronavirus hanya akan menjadi bom waktu yang akan meledak kembali sewaktu-waktu, entah dengan dampak yang sama besar atau bahkan dengan dampak yang lebih besar.
Ditulis oleh: Muhammad Rafi’ul Aziz
Disunting oleh: Ryan Adi Satria