Bersenyawa dengan Kukila: Harmoni Hidup antara Manusia dengan Kukila di Hutan Kemuning
Paparan sinar matahari perlahan mulai memasuki sela-sela tajuk pepohonan, dan memberi penghidupan bagi mereka yang berada di lantai hutan. Di bawah naungan rimbunnya pepohonan, berdiri tegak tumbuhan kopi jenis robusta setinggi dada yang rapat dan amat sangat terawat. Rona kopi dambaan manusia sejagad yang merah dan melimpah mulai terlihat jelas. Para petani bergegas memikul keranjang kayu dan perbekalan lainnya untuk memetik rezeki yang masih sangat segar. Rupa-rupanya tidak hanya manusia saja yang merasakan euforia. Burung-burung pun tidak kalah bersorak-sorai dalam mencari pakan mereka. Ini adalah kunjungan yang tepat bagi saya di Hutan Kemuning pada penghujung kuartil kedua tahun ini.
Semalam usai beristirahat, esok hari saya bersama Kang Kunthing, seorang mantan pemburu yang sudah lama beralih profesi sebagai pencari hasil hutan, bergegas berjalan menuju ke arah timur memasuki kawasan hutan yang menjadi titik pengamatan terbaik kami. Tidak jarang kami berpapasan dengan para petani yang memborong berkuintal-kuintal karung berisikan kopi untuk nantinya akan dijual ke tengkulak atau diproduksi sendiri. Alam liar dan aktivitas rutin masyarakat sekitar hutan pun seakan melebur menjadi satu.
Nafas kami tidak jarang tersengal-sengal karena medan yang berbukit dan sesekali menunduk untuk melewati rapatnya tumbuhan kopi. Selang beberapa kilometer berjalan, kami pun sampai pada lokasi yang kami nilai cukup ramai dengan aktivitas burung. Menjulang tinggi pohon Jerakah (Ficus sp) yang sedang berbuah dan jejeran acak pohon-pohon jenis lain bertajuk rindang. Atmosfer Hutan Kemuning selalu meriah oleh kicauan burung. Paling jelas adalah jenis takur tanggeret di timpali dengan berbagai jenis burung lain yang samar-samar. Beberapa kali terlihat jenis burung dengan pola sosial yang berbeda-beda. Ada yang terlihat berkelompok, maupun soliter. Karena keterbatasan penglihatan, bergegas saya menyiapkan binokular dan kamera. “Itu mas serindit jawa!” seru Kang Kunthing sembari menunjuk pohon berbunga yang cukup jauh tanpa menggunakan peralatan apapun. Saya pun tersenyum terheran-heran.
“Burung-burung pindahan kadang ya ada, mas. Tapi nggak banyak dan bukan musim-musim sekarang ini” ungkap Kang Kunthing yang sudah mengamati burung di Hutan Kemuning tiga dekade lamanya. Sekilas saya paham yang dimaksud adalah burung-burung migran yang bergerak dengan lingkup geografis tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Melalui informasi berbagai pantauan pengamat burung sebelumnya memang menujukan seperempat bagian komunitas burung yang dapat ditemukan di Hutan Kemuning adalah jenis-jenis migran dan sisanya adalah penetap.
Sebagai pemangku kawasan, awalnya Perum Perhutani mengelola kawasan Hutan Kemuning hanya diperuntukan sebagai pelindung keanekaragaman hayati dan mendukung fungsi ekologis. Karena tuntutan hidup, masyarakat sekitar memulai bercocok tanam kopi di kawasan hutan secara ilegal pada tahun 1970. “Rata-rata dulunya pendatang, masyarakat Desa Kemuning awalnya tidak punya lahan untuk bercocok tanam” tutur Pak Bejo selaku Kepala Desa Kemuning. Melalui perjalanannya yang panjang, mulai tahun 2005 masyarakat dan perum perhutani bekerja sama mengelola Hutan Kemuning dalam bentuk kebun kopi di bawah tegakan untuk mencapai kemakmuran bersama baik bagi alam liar maupun masyarakat sekitar.”Sekarang sudah sangat teratur, mas. sudah ada lembaga resmi dari desa, setiap aturan yang ada masyarakat juga patuh” terangnya.
Konsep shade grown coffee atau kebun kopi di bawah tegakan memiliki dua nilai penting: ekonomi dan konservasi. Berdasarkan nilai ekonomi, kopi adalah harapan hidup bagi masyarakat. Nyatanya, kopi kian populer di berbagai kalangan dan mejadi salah satu komoditi terbesar di Indonesia. Hal ini tentu menjadi peluang bagi para petani kopi tradisional. Dilihat dari nilai konservasi, kebun kopi di bawah tegakan menarik kesediaan hidup bagi berbagai jenis satwa liar yang membutuhkan.
Berbagai studi menyatakan bahwa burung dijadikan sebagai parameter dalam menentukan derajat kesehatan lingkungan manusia. Kondisinya akan selalu menjadi gambaran ketimpangan antara kepeduliaan dengan ego manusia. Namun, Hutan Kemuning dan masyarakat sekitarnya memberikan gambaran bagi saya bagaimana hubungan harmonis antara para manusia dengan kukila mampu mewujudkan keinginan manusia sejagat, yakni keseimbangan. Mereka tidak saling berkomunikasi, namun keduanya membuat suatu ikatan hidup yang erat. Mereka tidak pernah membiarkan alam menjadi sia-sia. Namun, mereka juga tidak akan membiarkan alam yang dihuninya sirna karena keserakahannya.
Sebagai wujud nyata, Masyarakat Desa Kemuning menerapkan berbagai pranata-pranata yang mereka yakini akan berguna untuk keberlanjutan penghidupan dan lingkungan mereka. Masyarakat diperkenankan untuk melakukan pengkayaan jenis pohon atau tumbuhan penaung dengan jenis yang sudah diatur oleh pemangku kawasan. Pada prinsipnya memang tanaman kopi memerlukan pohon penaung yang dapat mengatur intensitas cahaya matahari untuk memenuhi kecukupan kebutuhan hidupnya. Namun tidak semata-mata hanya itu. Masyarakat paham bahwa menanam pada pola waktu dan jenis yang beragam mampu melengkapi lapisan tutupan tajuk hutan. Semakin kompleks, kebutuhan burung yang tersedia akan semakin beragam. Semakin melimpah, burung penjelajah tidak akan enggan singgah untuk memenuhi kebutuhannya sebelum melanjutkan perjalanannya ke belahan bumi lain. Penggunaan bahan-bahan kimia juga diminimalisir dalam perawatan tumbuhan kopi. “Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan hati-hati, Mas. Kalau salah bisa-bisa hutannya yang malah rusak” tutur Pak Kusniyanto selaku pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan Argo Sejahtera.
Berbeda dengan manusia, perilaku burung didasari pada naluri yang telah diwariskan turun temurun dari pendahulunya. Secara eksklusif perilaku tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan organisme itu sendiri. Walaupun demikian, naluri burung akan dengan sendirinya membentuk ikatan imajiner untuk memberikan manfaat terhadap spesies lain. Mereka memberikan sumbangasih yang luar biasa melalui perannya. Para burung pemakan serangga melengkapi setiap lapisan hutan untuk memangsa serangga yang berpotensi sebagai hama. Pemakan nektar membantu proses penyerbukan tumbuhan guna berkembang biak. Para pemakan buah menjadi agen penyebar benih guna membentuk suatu ekosistem yang apik. Berkat jasanya, para petani dapat menekan biaya perawatan dan masyarakat turut merasakan terpenuhinya kesehatan rohani dan jasmani mereka. Karena itu, burung membuahkan nilai yang akan membentuk perspektif manusia bahwa mereka layak untuk dipertahankan keberadaanya.
Di sisi lain, berbagai sudut pandang manusia akan burung mungkin akan sukar untuk diselaraskan karena berbagai macam kepentingan. Peraturan yang telah dibuat sedemikian rupa dengan lengahnya pengawasan tentunya akan menimbulkan peluang pemusnahan populasi satwa berharga tersebut. Kita lebih mengenal penyebab risiko itu berupa perburuan ataupun tekanan aktivitas lainnya. Ancaman tersebut tentu menjadi sorotan bagi pemangku kawasan dan masyarakat yang sadar akan kepentingannya. Jika tidak, burung tidak memiliki banyak pilihan: pergi atau binasa. Ketika mereka sudah tidak ada, apakah baru kita sadar bahwa burung sejatinya memiliki peran penting terhadap kehidupan pribadi kita?